Kamis, 08 Desember 2016

Rekonstruksionisme Sosial - b. Pandangan tentang Pendidik, Peserta Didik, dan Kurikulum


Kaum rekonstruksionis percaya bahwa semua reformasi sosial muncul dalam kehidupan itu sendiri. Peserta didik diharapkan dapat menemukan masalah besar yang menghadang umat manusia. 

Kepekaan akan kesadaran adanya diskriminasi mengandung makna bahwa peserta didik atau siswa mampu mengenali kekuatan dinamik yang ada sekarang ini. Juga, siswa diharapkan mampu untuk mendeteksi keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, dan lembaga-lembaga yang menghalangi perbaikan budaya. Nilai-nilai budaya yang dominan semata-mata karena sudah menjadi kebiasaan memasyarakat harus dibuang bila tidak sesuai dengan semangat perbaikan budaya. Moral dan budaya ideologis yang sarat dengan nilai-nilai peninggalan zaman prailmiah dan pratekonologi tidak dapat dipakai lagi. Sikap fanatik, kebencian, tahayul, dan ketidaktahuan harus diidentifikasi dan dibuang (Gutek, 1974: 165).
Kaum rekonstruksionisme menginginkan siswa belajar mengidentifikasi masalah, metode, kebutuhan, dan sasaran yang jelas. Setelah itu, siswa menerapkan strategi yang agresif untuk mengubah keadaan secara efektif. Contohnya, kampanye keberaksaraan telah berkontribusi positif dalam mewujudkan revolusi politik yang sukses. Inilah contoh bahwa pendidikan telah berhasil membawa perubahan sosial yang sangat berarti.
Pendidik memegang peran penting dalam perubahan kurikulum yang sesuai dengan semangat rekonstruksionisme. Mereka percaya bahwa rekonstruksionisme sebagai sebuah paham dan pedoman bertindak akan mampu untuk membantu peserta didik dalam hubungannyadengan tujuan akademik dan tujuan personal untuk kesejahteraan masyarakatnya, bangsa, dan dunia. Peserta didik dengan minatnya masing-masing membantu menemukan solusi untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang dipelajari di dalam kelas. Guru menekankan pengalaman belajar siswa secara berkelompok dan bekerjasama dengan komunitas yang ada di sekitarnya dan berbagai sumber daya yang dimiliki. Mereka juga dituntut untuk membuat proyek terntentu berdasarkan prinsip saling tergantung satu sama lain dan konsensus bersama. Seperti yang dinyatakan oleh McNeil (Reed & Davis, 1999: 292) bahwa pengalaman peserta didik harus memenuhi kriteria: real, memerlukan aksi, dan mengajarkan nilainilai.
Pertama, peserta didik harus fokus pada satu aspek dari komunitas yang menurut mereka harus dilakukan perubahan dengan usaha mereka sendiri.
Kedua, peserta didik harus bertindak aktif dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi komunitas; tidak sekedar meneliti. Tindakan yang bertanggung jawab di dalamnya termasuk bekerja bersama komunitas tersebut, memberi informasi pada komunitas mengenai permasalahan sosial yang dihadapi, dan mengambil posisi yang jelas untuk isu-isu kontroversial.
Ketiga, peserta didik harus membentuk sistem nilai yang koheren. Pengalaman belajar harus memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menunjukkan pendapat dan sikapnya: benar atau salah, suka atau tidak suka terhadap suatu kondisi masyarakat atau fenomena yang ada.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kurikulum rekonstruksionisme sosial merupakan kendaraan atau sarana ideal untuk menolong orang miskin, siswa miskin perkotaan, atau kelompok marginal lainnya agar mereka memiliki daya tahan untuk hidup, berjuang untuk mengubah hidup dan komunitasnya, sehingga pada akhirnya mereka akan dapat memperbaiki kehidupannya pula. Kurikulum yang dikembangkan diarahkan untuk mencapai tujuan kehidupan dunia yang demokratis dan menghargai HAM; oleh karena itu rekonstruksionisme setuju dengan ide-ide perenialis tentang pentingnya pendidikan moral bagi subjek didik, tetapi tidak secara otoritatif melainkan dalam suasana demokratis sebagaimana diajarkan oleh John Dewey dan kaum progresivisme.

Pandangan tentang peserta didik lebih mirip dengan pandangan progresivisme dan banyak hal lain lagi dari progresivisme yang diterima oleh rekonstruksionisme. Hanya saja, menurut kaum rekonstruksionis, perubahan dilakukan secara global, meliputi perubahan sikap dan perilaku umat manusia, tidak cukup hanya di lingkungan tempat tinggal peserta didik saja.




*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar