Senin, 05 Desember 2016

Landasan Ontologis Pendidikan

Landasan ontologis atau sering juga disebut landasan metafisik merupakan landasan filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau substansi sesuatu. Misalnya, pendidikan secara ilmiah ditujukan untuk mensistematisasikan konsepkonsep dan praktik pendidikan yang telah dikaji secara metodologis menjadi suatu bentuk pengetahuan tersendiri yang disebut Ilmu Pendidikan. 

Pengetahuan ilmiah mengenai pendidikan pada hakikatnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati mengenai manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, pandangan tentang alam semesta; tempat manusia hidup bersama, dan pandangan tentang Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta tersebut.
Kneller (1971: 6) mengatakan bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang bersifat spekulatif, membahas hakikat kenyataan terdalam. Metafisika mencari jawaban atas persoalan mendasar: Adakah alam semesta ini mempunyai desain rasional atau hanya sesuatu yang tidak ada maknanya? Apakah pikiran itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau hanya sekedar sebentuk materi yang bergerak? Apakah perilaku semua organisme telah ditentukan atau apakah ada organisme, misalnya manusia, yang mempunyai ukuran kebebasan?
Dengan kemunculan ilmu-ilmu empiris, banyak orang meyakini bahwa metafisika telah ketinggalan jaman. Temuan ilmu-ilmu empiris tampak lebih dipercaya, sebab temuannya dapat diukur, sedangkan pemikiran metafisik tampaknya tidak dapat diverifikasi dan tidak bersifat aplikatif. Metafisika dan ilmu-ilmu empiris seolah merupakan dua bidang kegiatan yang berbeda.
Sebenarnya, ilmu-ilmu empiris mendasarkan diri pada asumsi-asumsi metafisik, tetapi banyak orang yang tidak menyadarinya. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli fisika Max Planck bahwa gambaran dunia secara ilmiah yang diperoleh dari pengalaman tetaplah selalu hanya suatu perkiraan saja; suatu model yang lebih kurang. Oleh karena ada objek material di belakang setiap sensasi inderawi, maka demikian pula ada kenyataan metafisik di belakang segala sesuatu, yang menjadi nyata dalam pengalaman hidup manusia (Kneller, 1971: 6).
Akinpelu (1988: 10) menjelaskan pengertian metafisika sebagai berikut.
“Metaphysics is the theory about the nature of man and the nature of the world in which he lives. It deals with the questions of what man really is, from where man had his origin and to what place he goes after his death. It deals with how man behaves and why he behaves the way he does. Metapysics, however at times goes beyond the above questions to discuss abstract and hidden topics. For example, we can discuss under it questions about the nature of the soul or the mind, whether a man has a soul or mind, if he has one how it functions, and finally what happens to it at his death. Whether God exists and, and if He does, how we can know Him are fair questions for methaphysics to tackle. Even such topics as human destiny, predestination, fate and freewill are regularly discussed under metaphysics.
Dari uraian Akinpelu tersebut dapat diketahui bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat alam dan hakikat dunia tempat tinggal manusia. Metafisika menjawab persoalan-persoalan: siapakah sesungguhnya manusia itu? Dari mana asalnya manusia itu dan kemana ia akan pergi setelah kematiannya? Bagaimana selayaknya manusia bertindak dan mengapa ia bertindak demikian? Metafisika membahas hal-hal yang abstrak dan berada di luar kehidupan yang kongkret.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Gutek (1988: 2) mengatakan bahwa metafisika berkaitan dengan perumusan teori dan praktik pendidikan dalam berbagai hal. Subjek, pengalaman dan keterampilan yang termuat di dalam kurikulum merefleksikan konsep tentang kenyataan yang diyakini oleh suatu masyarakat yang menjadi pendukung keberadaan sebuah sekolah. Gutek (1988: 2) mengatakan:
”Much of formal schooling represents the attempt of curriculum-makers, teachers, and textbook authors to describe certain aspects of reality to students. For example, subjects such as history, geography, chemistry, and so on, describe certain phases of reality to students.”

Persekolahan mewakili upaya dari pembuat kurikulum, guru-guru dan pengarang buku-buku teks dalam menggambarkan aspek-aspek kenyataaan kepada subjek didik. Contohnya, pelajaran sejarah, geografi, kimia dan lain-lain menggambarkan fase tertentu dari kenyataaan kepada subjek didik.


+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Sumber:
Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar