Kamis, 08 Desember 2016

Landasan Epistemologis Progresivisme

Progresivisme memang menolak metafisika, tetapi mereka sangat vokal mengenai epistemologi. Epsitemologi ditempatkan sebagai pusat dari filsafatnya (Akinpelu, 1988: 144). Mereka meyakini bahwa pengetahuan tidak ada artinya tanpa pengalaman manusia yang terus berproses dan disempurnakan. 

Oleh karena manusia hidup dan berinteraksi dengan makhluk lainnya, baik yang hidup maupun yang tidak, dalam suatu lingkungan hidup, manusia tidak dapat mengelak bahwa ia memperoleh berbagai pengalaman sebagai hasil dari interaksinya tersebut. Manusia memperoleh pengalaman karena ia mencoba untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalahnya yang muncul seiring dengan proses kehidupan itu sendiri. Pengalaman itu terbentuk dalam interaksi yang aktif maupun yang pasif. Jika lingkungannya memunculkan masalah, maka manusia terkena dampaknya; itulah yang disebut unsur pasif.
Selanjutnya, manusia mengambil langkah-langkah aktif untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru yang diciptakan oleh lingkungannya, atau ia memodifikasi dan mengubahnya. Manusia juga menanggung konsekusensi tertentu yang mungkin muncul dari langkah-langkah yang diambil terhadap lingkungan hidupnya. Dewey (via Akinpelu, 1988: 144) mengatakan:
“When we experience something, we act upon it, we do something with it; then we suffer or undergo the consequences. We do something to the thing and the thing does something to us in return”.
Pengetahuan adalah produk dari interaksi organisme dan lingkungannya. Pengalaman dikumpulkan dari kehidupan sosial, diproses oleh kecerdasan manusiam dan diterapkan untuk menyelesaikan masalah hidupnya. Kecerdasan atau intelegensi bukanlah sesuatu yang abstrak; bukan substansi yang ada di kepala manusia, juga bukan bagian dari otak manusia; melainkan hanyalah suatu kualitas berpikir yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah kehidupan secara efektif. Dengan kata lain, intelegensi atau kecerdasan adalah cara kita, manusia mendekati masalahnya untuk diselesaikan. Manusia memiliki intelegensi adalah ketika dia mampu mengatasi masalahnya dengan cara-cara ilmiah. Orang yang cerdas adalah orang yang dapat berpikir dan menggunakan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah hidup yang menghadangnya. Itulah artinya bahwa manusia dapat menggunakan Metode Berpikir Reflektif (Method of Reflective Thinking) dalam keseharian hidupnya. Metode berpikir reflektif disebut juga oleh Dewey (via Akinpelu, 1988:145) sebagai Metode Penyelesaian Masalah (Problem Solving Method).
Selain pengalaman, kebenaran adalah aspek lain yang menjadi perhatian para kaum progressif (Akinpelu, 1988: 146). Kebenaran adalah ide yang dapat diuji, diverifikasi dan terbukti efektif untuk menyelesaikan masalah. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide untuk memecahkan masalah. Kebenaran adalah konsekuen dari suatu ide, realita pengetahuan, dan daya guna di dalam hidup. Sebuah ide dapat dikatakan benar apabila dapat dilaksanakan dan berguna.
Kebenaran itu juga merupakan konsep sosial. Jika sekelompok orang mempunyai ide atau opini dan kemudian opini tersebut ditelaah oleh orang yang kompeten di bidangnya dan dinyatakan atau diakui benar menurut mayoritas kelompok manusia tersebut, maka opini tersebut benar. 


*****************************************
Sumber:

Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar