Kamis, 08 Desember 2016

Landasan Epistemologis Perenialisme

Perenialisme berpandangan bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. 

Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan metode deduksi. Kebenaran hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian metafisika, sedangkan kebenaran realita khusus kongkrit diperoleh dengan metode induksi yang hasilnya berupa sains (ilmu alam) dan ilmu empiris lainnya (Gutek, 1988: 272).
Konsep epistemologi Perenialisme secara mendasar mengikuti pola Aristoteles dan Thomas Aquinas. Aquinas (via Gutek, 1974: 59) mengatakan manusia secara bersama-sama berhubungan dengan realita materi melalui pemahamannya. Melalui pengalamannya, manusia dapat memahami objek dan pribadi yang lain. Semua pemahamannya ini adalah kekuatan badan yang menyatukan manusia secara langsung dengan objek sensasi individu. Pikiran manusia memberikan kekuatan menyusun konsep dari pengalaman sensori dengan abstraksi dan memilih karakteristik atau kualitas kehadiran objek. Konsep dibentuk oleh pikiran ketika mereka memahami universalitas, atau kualitas esensial, dibebaskan dari pembatasan materi konkrit. Konsep bukan konstruksi material atau pemahaman abstrak yang dapat dimanipulasi oleh penalaran manusia. Dengan organisasi konsep, manusia dapat menggeneralisasi pengalaman dan dapat menkonstruksi alternatif tindakan yang mungkin dapat dilakukan.
Seperti Aristoteles, Aquinas (via Gutek, 1974: 59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah ratio, melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi. Melalui kekuatan rasional yang terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang lainnya, dan menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia memungkinkan dia menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami dengan abstraksi universal, esential, dan kepastian kualitas objek. Melalui berpikir, atau konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif dan alaminya dan akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri. Dalam transformasi lingkungan ini, manusia harus membuat rencana dan struktur yang ada. Yang ada adalah proyeksi intelektual hipotesis ke dalam lingkungan untuk tujuan pengganti (berganti-ganti) lingkungan itu. Melalui makna eksperimentasi, seni, ilmu, dan teknologi, manusia dapat menggunakan intelektualnya untuk menstransformasi lingkungan materinya.
 Aquinas (via Gutek, 1974:59) setuju dengan Aristoteles bahwa manusia sangat humanis ketika berpikir sampai pada spekulasi. Bagaimana pun Aquinas seorang ahli teologi. Walaupun penalaran adalah paling tinggi yang dimiliki manusia dan merupakan kekuatan duniawi yang paling memuaskan, hal ini bukan sebuah kebahagiaan yang lengkap dan sempurna. Manusia tidak dapat mencapai kebahagiaan sempurna sampai ketika sesudah kematiannya, melalui berkat Tuhan, manusia mengalami kehidupan abadi dan bersatu dengan Tuhan.

*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar