Kamis, 08 Desember 2016

Ilmu, nilai, dan tanggung jawab ilmuan

Dalam tahap awal perkembangannya, ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan tertentu. Ilmu tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia, atau menguasai manusia. 

Tidak jarang manusia diperbudak oleh ilmu. Dengan ilmu, kadang-kadang manusia mengorbankan nilai-nilai kemanusiannya. Akhirnya hanya karena ilmu terjadi gejala dehumanisasi, sehingga tidak salah jika banyak orang mengatakan bahwa ilmu sudah tidak berpihak kepada manusia, tetapi ilmu sudah mempunyai tujuannya sendiri. Dalam zaman globalisasi saat ini, di mana proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi menunjukkan perkembangan sedikit demi sedikit, setapak demi setapak, melainkan melalui lompatan-lompatan atau terobosan-terobosan yang besar.
Pengaruh menyeluruh yang ditimbulkan oleh kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain dapat digambarkan dengan terjadinya revolusi industri pada akhir abad 19, yang bermula di Inggris. Menyaksikan kenyataan yang menyambung revolusi industri tersebut maka sejumlah filsuf tentang kemanusiaan jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang akan terbawa oleh diterapkannya teknologi mutakhir terhadap kehidupan bersama manusia, tanpa mengingkari betapa kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk mengelola alam lingkungannya. Filsuf-filsuf ini juga menyaksikan gejala-gejala yang perlu mendapat perhatian kemanusiaan sehubungan dengan akibat sampingan dari penerapan teknologi ini. Dengan demikian sebuah ilmu bukan mustahil justru menjadi bumerang bagi kemanusiaan itu sendiri, dan terlempar jauh dari hakikat ilmu yang sebenarnya.
Menghadapi kenyataan pahit ini, Ilmuwan yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan tentang bagaimana seharusnya memanfaatkan ilmu. Banyak orang mulai bertanya untuk apa ilmu itu harus dipergunakan dan ke arah mana ilmu harus diarahkan. Tentu untuk menjawab pertanyaan ini orang harus melihat lagi tentang hakikat moral.Inilah pertanyaan tentang aksiologi yang dipecahkan demi kemaslahatan umat.
Dalam filsafat, ilmu juga dikaitkan dengan nilai. Pertanyaan yang banyak dibahas antara lain bahwa apakah selalu ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai. Tentu tidak ada orang yang meragukannya kalau ilmu itu sendiri bernilai. Nilai ilmu terletak pada manfaat yang diberikannya sehingga menusia dapat mencapai kemudahan dalam hidup. Ilmu dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya yang objektif, yang terkaji secara kritik. Dengan demikian ilmu sebagai sebuah nilai adalah sesuatu yang bernilai dan masih bebas nilai. Akan tetapi setelah ilmu digunakan oleh ilmuwan, ia menjadi tidak bebas nilai, hal ini disebabkan sejauh mana moral yang ada pada ilmuwan untuk bertanggung jawab terhadap ilmu yang dimilikinya akan menyebabkan ilmu itu menjadi baik atau menjadi buruk.
Namun, sebagai seorang ilmuwan, tidak akan dapat lepas dari hakikat ilmu. Banyak peran yang menjadi tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki. Sikap sosial ilmuwan harus selalu konsisten dengan proses penelaahan ilmu yang dilakukan. Beberapa sikap sosial yang mungkin dilakukan ilmuwan sebagai cermin tanggung jawab sosial antara lain:
1)   Menjelaskan semua permasalahan yang tidak diketahui masyarakat denganbahasa yang mudah dicerna.
2)   Memengaruhi opini dalam rangka memunculkan masalah yang pentinguntuk segera dipecahkan.
3)   Meramalkan apa yang terjadi dengan sebuah fenomena.
4)   Menemukan alternatif dari objek permasalahan yang menjadi pusatperhatian.
5)   Di bidang etika, ilmuwan tidak hanya memberikan informasi tetapi juga memberikan contoh (Sumantri 2003).

Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan merupakan isu yang dianggap cukup penting dalam filsafat ilmu, terutama sekali jika kita kaitkan dengan pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Dalam perkembangannya, ada 2 pihak yang saling bertentangan dalam membahas ini, antara paham positivisme yang menganggap bahwa ilmu harus bebas nilai. Di pihak lain ada juga yang beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin bebas nilai karena dalam penerapannya akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang masih banyak diperdebatkan oleh ilmuwan ketika memandang nilai dari sebuah ilmu.

Menurut Saifudin sebagaimana dikutip oleh Mundiri, dikatakan bahwa klaim ilmu bebas nilai berdampak bahwa kegiatan ilmiah berjalan atas dasar hakikat ilmu itu sendiri (Mundiri 2006). Secara teoretis ilmu pengetahuan dibiarkan menjelaskan rahasia alam dan menafsirkan realitas objek dengan penekanan padanya. Dalam hal ini ilmu selalu terbuka bagi usaha-usaha penguatan, pendalaman, bahkan pembatalan. Namun di sisi lain, netralis ilmu pengetahuan semakin tidak dapat dipertahankan ketika masuk dalam tataran praktis aksiologis. Ilmu pengetahuan dalam hal ini benar-benar sarat nilai. Ilmu pengetahuan sudah harus mempertimbangkan dimensi etika yang melingkupinya. Kepentingan yang melekat kepada pengguna ilmu menyebabkan ilmu tidak bisa bebas dari tataran teoretis.



))))))))))))))))))))))))))))((((((((((((((((((((((((((((
Sumber:
Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar