Selasa, 29 November 2016

Pengertian Epistemologi - bagian 2

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1)      hakikat itu ada dan nyata;
2)      kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3)      hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami; serta
4)      manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu.

Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya dan jalan menuju ilmu serta pengetahuan tidak tertutup bagi manusia. Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia? Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, tetapi pada persoalanpersoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini, misalnya ‘kursi’ adalah cara kerja pikiran untuk menangkap substansi sebuah kursi. Dalam realita konkret, kita selalu menemui berbagai macam kursi dalam jenis, sifat, bentuk, dan perujudannya. Menurut jenis bentuk, posisi, dan fungsinya ada kursi makan, kursi belajar, kursi goyang, kursi tamu, dan sebagainya. Namun, terlepas dari hal itu semua ‘kursi’ adalah kursi bukan ‘meja’ meskipun bisa difungsikan sebagai meja atau sebagai alat (benda buatan) dalam bentuk tertentu, yang berfungsi sebagai ‘tempat duduk’. Sementara duduk adalah suatu kegiatan seseorang dalam posisi meletakkan seluruh badan dengan macam jenis, sifat, bentuk hal atau benda dalam keadaan seperti apa pun, di mana, serta kapan pun berada dan yang biasanya difungsikan sebagai tempat duduk.
Contoh lain, melakukan abstraksi tentang ‘mahasiswa’, misalnya kegiatan berpikir untuk mengungkap apa substansi dari mahasiswa itu, Menurut ukuran sepuluh kategori Aristoteles, mahasiswa adalah manusia dewasa yang menurut sifatnya berpikir kritis, berpenampilan penuh selidik hidup di dalam komunitas kampus, dengan tanggung jawab belajar, selama kurun waktu tertentu serta selalu berada di dalam budaya berpikir, bersikap, dan berperilaku inovatif. Namun, apakah ketika mereka melakukan aktivitas di luar kampus, substansi, atau jati dirinya sebagai mahasiswa tetap berfungsi? Jika ‘kampus’ dipahami sebagai suatu tempat, substansi kemahasiswaan berubah menjadi komponen sosial lain. Namun, jika kampus dipahami sebagai suatu sistem dinamika sosial, kehadiran mahasiswa dengan jati dirinya justru ditunggu oleh masyarakat luas luar kampus. Jadi, substansi atau jati diri ‘mahasiswa’ bisa berada di dalam kegiatan apa pun, berlangsung di mana, dan kapan pun, di dalam kehidupan sosial seluas-luasnya, tidak terikat sebatas sosialitas kampus.
 Epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:
a.       Dari manakah saya berasal?
b.      Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
c.       Apa hakikat manusia?
d.      Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?
e.      Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
f.        Mana pemerintahan yang benar dan adil?
g.       Mengapa keadilan itu ialah baik?
h.      Pada derajat berapa air mendidih?
i.         Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?, dan
j.        pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan halhal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: hakikat itu ada dan nyata dan hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami. Keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhadap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, serta terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok bahasan epistemologi dengan memerhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan.

00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Sumber:

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar