Jumat, 25 November 2016

Filsafat Pendidikan Ibnu Sina - Pentingnya Pendidikan Akhlak

Dalam kontes pembicaraan mengenai pendidikan akhlak Ibnu Sina mengatakan bahwa manusia selalu merupakan sasaran pengaruh materi. Pengaruh ini mendorong manusia melakukan banyak kesalahan dan dosa. Keadaan ini merupakan sebab utama yang menghambatnya memperoleh kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya.
Dari itu, kata Ibnu Sina, manusia harus meneliti kekurangan dan kejelekan diri, agar ia dapat mengetahuinya, lalu memperbaikinya. Untuk dapat mengetahui dirinya, Ibnu Sina mengemukakan dua cara:
Pertama, mengenal akhlak dirinya. Sebelum manusia mengetahui akhlak dirinya, lebih dahulu ia harus menyadari bahwa ia memiliki akal dan jiwa. Pada mulanya, keduanya tidak serasi; akal tidak dapat mengendalikannya dan mengarahkannya kepada hal-hal yang baik.
Manusia harus mempelajari semua kekurangan dan kecelaan diri, sebelum ia memperbaikinya. Meremehkan sesuatu kekurangan dan keburukan diri, walau bagaimanapun kecilnya, berarti ia telah yakin bahwa dirinya telah baik seluruhnya, sedangkan pada hakikatnya masih ada keburukan-keburukan moral yang tersembunyi yang terlepas dari pengawasan akal. Jika seorang bersikap demikian, maka itu sama halnya seperti orang yang membalut luka, sedangkan di sebelah dalamnya masih penuh dengan kotoran nanah yang sewaktu-waktu akan meletus atau kambuh kembali. Seperti bisul jika dibiarkan sewaktu kecil, pasti akan membesar dan meletus keluar, demikian pula halnya kekurangan diri yang tidak dihiraukan oleh yang bersangkutan untuk memperbaikinya, ia akan terus aktif mendominasi diri, sehingga ia akan muncul terlihat oleh orang ramai.
Kedua, mengenal akhlak diri melalui orang lain. Akan, tetapi, walaupun bagaimana orang berusaha mengetahui akhlak dirinya, namun ia tidak dapat mengetahui dengan sebenarnya karena kebodohannya akan keburukan dan kejelekan diri, di samping ia sering bersikap toleran terhadap dirinya yang serba jelek itu, terutama pada waktu ia mempermasalahkannya. Untuk mengetahui hal ini, Ibnu Sina menasehatkan, agar orang mengenal dirinya dengan baik, ia harus minta bantuan kepada kawan atau sahabatnya yang dipercaya untuk memberitahu hal ihwal yang sebenarnya serta melihat akhlak mereka untuk di perbandingkan dengan akhlak dirinya. Ia harus menjadikan orang lain sebagai cermin bagi dirinya, sehingga ia mengetahui kesesuaian atau perbedaan dirinya dengan orang lain. Dengan demikian, ia akan lebih mudah mengenal kekurangann dan keburukan akhlaknya. Sesudah mengetahui akhlak dirinya dengan sempurna, ia mungkin belum juga dapat memiliki akhlak yang ideal bagi dirinya disebabkan adanya kecenderungan ke arah lain yang tidak dikehendaki, maka dalam hal ini, ia menempuh cara lain untuk meluruskan akhlaknya, yaitu cara atau kebijaksanaan “pahala” (reward) dan siksa (punishment).
Dengan kebijaksanaan pahala dimaksudkan agar dalam hal dirinya telah cenderung kepada sifat-sifat yang terpuji dan membenci sifat-sifat tercela, sehingga dengan mudah berbudi atau bertingkah laku luhur, maka ia berhak untuk merasa senang dan gembira serta memuji Tuhannya atas rahmat yang diberikan kepadanya.
Adapun yang dimaksud dengan siksa atau celaan ialah jika diri atau jiwanya masih cenderung kepada hal-hal yang keji dan tercela serta kegemaran melakukan perbuatan keji dan munkar, maka ia harus memperbanyak teguran dan celaan terhadap dirinya dan tidak segan-segan menghukum diri dengan tidak memenuhi keinginannya, sehingga akhirnya akan timbul penyesalan yang mendalam atas kemungkaran yang telah dilakukan.
Ibnu Sina juga membagi akhlak menjadi dua bagian yaitu sifat-sifat yang terpuji dan sifat-sifat yang tercela. Dua sifat ini banyak sekali pada manusia. Akan tetapi, kata Ibnu Sina, sifat-sifat tersebut dapat di kategorikan dalam tiga jenis daya jiwa; daya keinginan (syahwaniah), daya marah (ghadabiyah), dan daya berpikir (nathiqah). Dengan demikian terdapat tiga kelompok sifat-sifat terpuji dan tiga kelompok sifat-sifat tercela.
Daya keinginan mempunyai keutamaan dan keburukan. Keutamaan daya keinginan adalah ‘iffah (menahan diri), sakha (murah hati), dan qana’ah (merasa cukup). Sifat yang ekstrem sebaliknya dari ‘iffah loba dan impoten. Sifat yang ekstrem dari sakha adalah kikir dan boros. Sifat yang ekstrem dari qana’ah adalah serakah dan meremehkan dunia.
Daya marah mempunyai keutamaan yaitu syaja’ah (berani), dan sifat jeleknya penakut dan membabibuta. Sabar yang merupakan pertengahan dari sifat memaki, memfitnah, menuduh, berbohong. Hilm ialah menahan diri dari menuruti dorongan marah pada waktu timbulnya hal-hal yang tidak di senangi. Sifat ini berhadapan dengan sifat tercela, dengki, membalas dendam dan iri hati. Sifat-sifat utama dari daya berpikir adalah hikmah, benar, rahmat dan malu. Sedangkan keburukannya adalah bodoh, munafiq, kasar, khianat dan menipu. Akhlak yang baik tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa usaha pembinaan. Dalam hal ini, Ibnu Sina memberikan dua cara: cara kebiasaan (adat) dan pemikiran.
Pembinaan akhlak dengan pembiasaan yang dimaksudkan Ibnu Sina, kebiasaan merupakan perbuatan yang berulang kali dilakukan terhadap sesuatu hal dalam waktu lama yang berdekatan. Dengan kebiasaan, akhlak yang baik dan yang buruk dapat terjadi dengan mudah karena sering membiasakannya.
Adapun yang dimaksud cara pemikiran ialah bahwa orang yang ingin meluruskan akhlaknya haruslah mengarahkan pemikirannya kepada keagungan dan kesempurnaan ilahi dan menjauhkannya dari hal-hal yang berlawanan dengan kehendak-Nya. Untuk itu, ia harus menggunakan khayalnya dan berpikir apa yang pantas menjadi pendahuluan menjadi pemikir, serta menjadikannya sebagai sikap yang menetap dalam jiwanya, sesuai dengan bimbingan akal sehat.
Dengan akhlak yang terpuji dan utama itu, orang akan menjadi sempurna yang selanjutnya akan mengantarkanya kepada suatu tujuan hidup yang tertinggi, yaitu kebahagiaan atau eudemonia (kebahagiaan), menurut istilah Socrateus, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Nichomacean Ethics.

Tampaknya perhatian para ulama klasik terhadap akhlak demikian tinggi, selain Ibnu Sina dan Ibnu Maskawaih, al-Mawardi, dan sebagainya. Mereka adalah para ulama yang besar perhatiannya terhadap pembinaan akhlak. Menurut pendapat penulis, pemikir-pemikir Islam klasik dalam pembinaan akhlak mempunyai pemikiran yang bersesuaian. Demikianlah pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan akhlak yang sangat besar kontribusinya bagi pembinaan rohani masyarakat apalagi ketika degradasi moral sedang melanda umat manusia dewasa ini.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.
Sumber:

Yoyo Hambali, MA. 2011. Filsafat Pendidikan - Studi Perbandingan antara Filsafat Barat dan Filsafat Islam. BEKASI : UNIVERSITAS ISLAM “45”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar