Jumat, 25 November 2016

Filsafat Pendidikan Ibnu Sina - Kesatuan Jiwa dan Raga

Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan. Kontribusi Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan baik pada pemikiran dunia Arab sejak abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert The Great, Thomas Aquinos, Roger Bacon,dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.

 Lapangan kejiwaan dari Ibnu Sina lebih banyak menarik perhatian pembahasan modern dari segi-segi filsafatnya, antara lain berupa penerbitan buku-buku karangannya serta kupasan-kupasan serta tinjauan terhadap pandangan-pandangan Ibnu Sina tentang kejiwaan. Di antara mereka adalah: S. Landauer yang menerbitkan karangan Ibnu Sina, berjudul Risalah al-Quwa al-Nafsiah (Risalah tentang Kekuatan Jiwa) pada tahun 1875, dengan berdasarkan teks asli Arab dan teks-teks Ibrani serta latin; Carra de Vaux dalam bukunya Avicenna; Dr. Gamil Saliba, dalam bukunya Atude la Metaphysique’d Avicenna (tinjauan tentang segi metafisika dari Ibnu Sina); Dr. Usman Najati dalam bukunya Nadharat al-Idrak al-Hissi’ Inda Ibnu Sina (teori persepsi indera pada Ibnu Sina); dan B. Haneberg, yang mengarang buku Zur Erkenntnislehre von Ibnu Sina und Albertus (tentang teori pengenalan pada Ibnu Sina dan Albert The Great).
Teori Ibnu Sina tentang kesatuan antara jiwa dan raga sangat relevan dengan pendidikan rohani, yaitu dalam pendidikan perlu ditekankan upaya pendidikan yang komprehensif dan holistik, yakni pendidikan yang menyeluruh dan utuh meliputi seluruh potensi hubungan jiwa dan raga sebagaimana yang telah di uraikan pada tujuan menurut Ibnu Sina pendidikan di atas. Dengan demikiandalam konteks ini, kotribusi Ibnu Sina cukup besar.
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, seperti di uraikan dalam bab pertama buku psikologi al-Syifa.

Ibnu Sina mengatakan bahwa dalam jiwa manusia itu terletak kekuatan berfikir, memahami, dan membedakan sesuatu. Inilah daya atau kekuatan jiwa yang paling substansial dan esensi. Dalam hal ini Ibnu Sina membedakan antara akal dan jiwa, berbeda dengan Ibnu Maskawaih dalam Tahzibul Akhlak yang tidak membedakan antara jiwa dengan akal. Baginya antara jiwa dan akal itu satu adanya. Karena kekuatan jiwa antara yang positif dan yang negatif saling berlomba maju dan hendak menjadikan dirinya paling depan, maka jiwa berfikir (nafsu al-nathiqah) yang positif perlu di bina dan di latih terus menerus. Cara melatih jiwa berfikir sebagaimana di terangkan dalam ilmu pendidikan jiwa dan spiritualisme adalah dengan cara membersihkan potensi jiwa ini dari berbagai penyakit kejiwaan dan mengisinya dengan berbagai sifat yang baik sehingga tercapai tingkat jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sumber:
Yoyo Hambali, MA. 2011. Filsafat Pendidikan - Studi Perbandingan antara Filsafat Barat dan Filsafat Islam. BEKASI : UNIVERSITAS ISLAM “45”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar